Daun Gedi (Abelmoschus manihot)
Oleh ICHWAN SUSANTO

KOMPAS.com - Semangkuk bubur manado yang kaya sayuran, rasanya tak lengkap tanpa daun gedi. Ya, sayuran khas Sulawesi Utara tersebut menjadi resep penambah kental dan menguatkan rasa gurih masakan. Namun, potensi khasiat daun gedi diduga lebih dari sekadar penambah selera.

Tanaman perdu yang tingginya bisa mencapai 1,5 meter itu sudah jadi makanan sehari-hari masyarakat di Sulawesi Utara. Daunnya menjari seperti daun singkong.

Selain dipakai sebagai sayur, hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado di Sulut menunjukkan, daun gedi (Abelmoschus manihot) juga biasa dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai obat diabetes. Ini masih keyakinan turun-temurun.

Namun, tak hanya daun gedi. Terdapat 151 jenis tanaman dari belantara hutan Sulut.

Kajian BPK Manado 2009-2010 menemukan masyarakat pedesaan yang masih memanfaatkan tanaman ini untuk berbagai pengobatan. Sebagian di antaranya dituliskan pada buku Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid I dan Jilid II yang dikerjasamakan BPK Manado dan Kementerian Riset dan Teknologi.

Sebanyak 151 jenis tanaman itu dicek di pusat data penelitian tanaman obat. Itu untuk mengetahui sudah atau belum dilakukan penelitian terhadap khasiat tanaman. Jika belum pernah diteliti, maka dikerjakan BPK Manado untuk dikaji secara ilmiah.

”Terdapat 17 tanaman hutan yang sudah kami uji dari sisi antikanker dan pengobatan diabetes,” kata Lis Nurrani, peneliti pada BPK Manado, Selasa (12/2) lalu.

Dari 17 tanaman tersebut, 12 jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit kanker dan 5 jenis tumbuhan dimanfaatkan untuk mengobati penyakit diabetes.

Ditemukan, kandungan flavonoid dan kandungan toksik kurang dari 1.000 bagian per juta didapatkan dari kulit pakoba (Trycalisia minahassae), kulit jambu (Syzigium sp), batang meandanginan (Tetracera indica), dan daun balacai merah (Jatropha gassifolia). Semua itu berpotensi untuk pengobatan diabetes.

Sementara itu, potensi antikanker ada pada kulit kayu lawang (Cinnamomum cullilawan), kulit dahan ketapang (Terminalia catappa), batang lingkube (Dischidia imbricate), daun kuhung-kuhung (Crotalaria striata), batang tanduk rusa, dan daun yantan (Blumea chinensia).

Bahan antioksidan

Tahun 2012, penelitian difokuskan pada pengujian kemampuan ekstrak tumbuhan untuk meredam radikal bebas atau antioksidan pada kulit kayu lawang, kulit ketapang, batang lingkube, dan daun kuhung-kuhung. Hasilnya, keempat jenis tanaman itu bisa digunakan sebagai bahan alami antioksidan baru. Ini ditunjukkan dengan inhibitor concentration 50 persen (IC50) kurang dari 200 bagian per juta.

Selanjutnya, pengujian ekstrak tumbuhan ditambahkan pada sel kanker lestari HeLa/sel kanker serviks. Pemberian ekstrak kuhung-kuhung sebesar 635,289 bpj berpotensi mematikan 50 persen sel kanker.

”Hasilnya, dari nilai IC50 hanya ekstrak daun kuhung-kuhung yang potensial membunuh sel kanker HeLa,” kata Lis. Meski tanaman lain tak terbukti mampu melawan sel kanker HeLa, ekstraknya diyakini masih bisa melawan sel kanker jenis lain, seperti sel kanker T47D (kanker payudara), sel P388 (kanker darah), HepG2 (kanker hati), PC-3 (kanker prostat), dan kanker lain. Pengujiannya terkendala ketersediaan jenis sel kanker pada Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB).

Butuh uji klinis

Lis mengatakan, uji klinis kuhung-kuhung dibutuhkan sebagai dasar ilmiah keamanan dan khasiatnya bagi hewan percobaan, selanjutnya bagi manusia. ”Penelitian laboratorium mungkin sangat terbatas, namun kami sudah mengoleksi hidup tumbuhan-tumbuhan ini. Kalau ada kesempatan penelitian lagi, bisa dilakukan,” kata Mahfudz Mochtar, Kepala BPK Manado.

Tak sekadar dikoleksi, tanaman itu dicari metode pembudidayaannya. Harapannya, jika suatu masa tanaman ini bisa dimanfaatkan untuk pengobatan herbal, teknologi pembudidayaannya sudah tersedia.

Harapan Mahfudz beralasan. Lebih dari 30.000 spesies tumbuhan tropis ada di Indonesia, 7.000 spesies diyakini berkhasiat obat. Sayangnya, terlalu banyak yang belum diteliti dan dikembangkan.

Berkali-kali mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menegaskan, sumber daya hayati adalah masa depan bangsa dan dunia. Sejak 2006, industri jamu nasional merangkak naik. Puncaknya, tahun 2010 menghasilkan Rp 10 triliun.

Bukan tak mungkin, berbagai tanaman obat tradisional, termasuk dari Sulut, menopang ekonomi bangsa. Mengalahkan obat tradisional impor yang menurut Kementerian Perdagangan 2011 mencapai 40,5 juta dollar AS dari Amerika Serikat, Malaysia, dan Korea Selatan.

Harapan itu sebenarnya tak muluk-muluk, justru terbuka melalui Protokol Nagoya yang ditandatangani Indonesia, Mei 2011. Protokol itu, yang tahap ratifikasinya masih di DPR, mengatur pembagian manfaat secara adil dan merata dari pihak produsen obat/farmasi kepada masyarakat lokal, asal sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Tak menutup kemungkinan, pembagian manfaat dari internasionalisasi daun gedi.

Sumber : Kompas.com