Oleh
:
IING NASIHIN
“Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbutan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatn mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar) (QS : 30 : 41)”
Tapi kenapa,
kini Indonesia
seakan terpuruk dan belum mampu lagi untuk berdiri kokoh. Dari sisi sosial
ekonomi, banyak masyarakat negeri ini yang masih hidup di bawah ambang
kesejahteraan. Penyakit dan kelaparan akibat bencana alam dan konflik belum
bisa kita tuntaskan.
Belum juga selesai masalah di atas, kini kita dihadapkan lagi pada masalah
ekologi. Pengrusakan dan penurunan fungsi-fungsi ekologi terus berlanjut.
Akibat dari kemerosotan (degradasi) sistem ekologi telah ditunjukan oleh alam.
Banjir, tanah longsor, kekeringan, suhu udara yang meningkat, tidak menentunya
iklim dan gejala-gejala alam lainya merupakan tanda-tandanya.
Hutan sebagai karunia Allah SWT dianugerahkan untuk dimanfaatkan oleh
segenap makhluk yang diciptakan-Nya. Diantara semua ciptaan-Nya, manusialah
yang paling dituntut perannya. Agar anugerah tersebut dikelola dan bermanfaat
sesuai dengan harapan sang Pemberi. Dilihat dari potensinya, hutan dinilai
sebagai salah satu sumberdaya alam yang menyimpan sejuta misteri, sehingga
diperlukan suatu pemahaman secara holistik. Anugerah
Allah SWT yang tak ternilai harganya ini wajib disyukuri. Kita harus memelihara dan memanfaatkan sesuai dengan kemampuan
hutan itu sendiri, sehingga tetap lestari. Dari sekian banyak manfaat hutan
tersebut, secara garis besar dibagi
menjadi manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara ekologi hutan berperan
sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, penyerasi dan
penyeimbang lingkungan secara global. Secara sosial ekonomi hutan dapat
berfungsi sebagai penghasil kayu, rotan, bunga, buah, lebah madu, air,
rekreasi, aktivitas budaya (ritual) dan sebagainya.
Kerusakan hutan
merupakan salah satu contoh hasil perbuatan kita (manusia) yang mengakibatkan
bencana bagi bumi ini. Pada akhirnya manusia jugalah yang akan merasakan
akibatnya. Hutan mempunyai multifungsi yang sangat berharga bagi kehidupan.
Adanyanya hutan manusia dapat membangun rumah, mengairi sawah, menghirup udara
segar dan sebagainya. Hal tersebut dikarenakan hutan mempunyai fungsi dan
peranan sebagi penghasil kayu, pengatur tata air, produsen oksigen serta penyangga kehidupan.
Akhir-akhir ini,
kita merasa resah dan ketakutan. Ketika banjir terjadi beberapa daerah, akan tetapi di daerah lain justru
kekeringan. Sebenarnya itu merupakan salah satu
peringatan bagi kita. Alam ini tidak mampu lagi “mengelola” air dengan baik
sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena
fungsi alam (hutan) sebagai pengatur tata air (hidrologi) tidak dapat berjalan
dengan maksimal karena ulah tangan kita yang tega “membabat” hutan demi untuk
keuntungan yang sesaat.
Padahal, kita
(manusia) sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini seharusnya sadar. Kita merupakan bagian dari
sistem alam ini dan tidak selayaknya memperlakukan alam secara tidak bijaksana.
Dari sisi religi sebagaimana penulis paparkan diatas, seperti bencana alam,
penyakit, kelaparan, pengrusakan lingkungan dan sebagainya nampaknya sebagai
suatu suratan takdir dari yang Maha Kuasa. Tetapi sebagaimana Allah S. W. T.
telah menjelaskan pada QS : 30 : 41, bahwa sebenarnya semua kerusakan (bencana
dll) yang terjadi di atas bumi ini adalah hasil perbuatan kita (manusia). Atau
lebih sederhananya lagi merupakan suatu hukum sebab akibat.
Dari pemaparan
di atas, belum terlambat bagi kita untuk melakukan yang terbaik dan berbuat
bijaksana bagi alam ini. Etika lingkungan adalah salah satu sikap yang perlu
dibina dan ditanamkan pada setiap individu. Setiap individu dapat mengerti dan
melalui etika lingkungan diharapkan memahami fungsi dan peranan alam bagi
kehidupan. Sehingga akan melakukan yang terbaik dan berbuat bijaksana bagi alam
ini.
Etika lingkungan
sebenarnya telah dianut oleh nenek moyang kita, secara tradisional, yang
bersumber pada agama (ecoteology) dan mungkin juga mitologi, legenda ,
termasuk cerita-cerita rakyat. Jejak langkah ajaran tersebut masih dapat kita
kenali dalam bentuk karifan tradisional yang ditunjukan oleh suku-suku
pedalaman yang masih kuat memegang etika lingkungan kuno seperti suku Dayak,
Baduy, Nias, Anak Dalam (Kubu), Mentawai dan sebagainya.
Etika lingkungan
yang masih dipegang kuat oleh suku-suku pedalaman, seharusnya kita tiru untuk
diaplikasikan. Etika Lingkungan dapat dimulai dari hal-hal yang kecil dan
sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, menghemat air, listrik dan
bahan bakar.
Sudah saatnya
kita (manusia) menyadari kesalahan dan tidak lagi berkehendak untuk menaklukan
alam, tetapi ingin hidup secara harmonis dan produktif dengan alam dan lingkungan.
0 Komentar